Total Pageviews

Tuesday, December 22, 2009

Gula Jawa (Gula Aren) Tidak Mengandung Formalin

Pernahkan anda menerima email yang menjelaskan bahwa semua pengrajin gula aren menggunakan formalin dalam membuat gula aren? Benarkah demikian? Penjelasan dari Prof. Dr. Mary Astuti berikut semoga bisa menenangkan anda...

Nampaknya demam formalin sudah melanda seluruh lapisan masyarakat, baik dengan info yang benar dan akurat maupun info yang kelabu dan info yang merah membara. Saya beserta tim UGM sudah lama membina perajin gula kelapa baik didaerah Kulon Progo maupun diwilayah Purworedjo kami bahkan membuat satu rumah processing sebagai percontohan bagi perajin. Perajin gula kelapa adalah masyarakat yang cukup miskin dan tidak ada pilihan lain untuk bekerja selain sebagai perajin untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Kalau ada pilihan lain mereka akan memilih pekerjaan lain yang lebih baik dan tidak berisiko tinggi. Mengapa? memanjat pohon kelapa yang tingginya diatas 10 m tentu berisiko apalagi tanpa alat pengaman. Saat ini pemanjat sudah semakin langka karena pemanjat yg sudah berumur tidak kuat lagi manjat sedangkan yang muda segan dan kurang bergairah untuk pekerjaan seperti itu.

Membuat gula kelapa atau aren tidak semudah mengkonsumsinya baik dalam bentuk yang sudah dicampurkan pada es dawet, pada kolak, pada sambel pecel, pada kecap dll. Pertama-tama perajin harus memanjat pohon kelapa dengan membawa alat penoreh (pisau) dan bumbung atau plastik untuk menampung nira kelapa. Cara menyanyat tandan bungakelapa yang berumur satu bulan atau baru mekar. Tidak mudah lho menyadap tandan karena perlu ketrampilan. Pertama bersihkan tandan bunga, tandan dipukul-pukul pelan dan ditekuk kesamping sehingga tandan yang tadinya tegak menjadi menunduk, kemudian iris pucuk tandan sekitar 5 cm kearah bawah dengan ketebalan sekitar 0,4 cm.. Pengirisan dilakukan pada pagi atau sore hari. Cairan yang menetes yg disebut nira ditampung dalam wadah bumbung bambu atau ember plastik ataupun jerigen plastik. Pekerjaan ini memerlukan keahlian karena para penyadap nira selain harus tahu bagaimana mempersiapkan tandan, bagaimana mengiris , bagaimana mereka harus manjat dengan membawa arit, bumbung, cairan pengawet atau pengatur pH dan bagaimana mereka harus menggelantung di pohon. bisa dibayangkan enggak ya?

Nira adalah cairan yang berasa manis karena mengandung gula sakarosa 10-15% mengandung gula reduksi (glukosa) 1,0-2,0%. Cairan yang mengandung gula ini pada saat keluar dari tandan mempunyai pH netral sekitar 7, baunya enak dan rasanya manis. Dalam kondisi seperti itu dg jumlah airnya sekitar 80-85%, yang dibiarkan terbuka dipohon (perlu waktu 8-12jam untuk mendapatkan 0,5-1 L nira per tandan) akan digemari mikroorganisme jenis yeast yang akan mengubah gula sukrosa dalam nira menjadi alkohol kemudian menjadi asam sehingga nira berasa asam dan tidak bisa dikristalkan membentuk gula yang padat apabila dimasak. Para perajin akan menambahkan air kapur sekitar 1-2sendok makan kedalam bumbung atau jerigen penampung nira. Gunanya air kapur untuk menaikkan pH nira sehingga nira tidak disukai yeast, sehingga nira tidak berubah menjadi masam dan pada saat dimasak masih bisa menjadi gula yang keras. Ada juga perajin yang menambahkan sayatan pohon manggis dengan tujuan yang sama yaitu mencegah aktivitas yeast. Ada pula perajin yang menggunakan sodium bisulfit yang berupa bubuk (mereka menyebut obat gula). Gunanya sodium bisulfit selain untuk mengawetkan juga untuk mempertahankan warna gula jawa menjadi kuning kecoklatan karena mempunyai sifat sebagai anti pencoklatan.

Kami tim UGM selain melakukan pembinaan di dua daerah tersebut juga melakukan survei untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan gula yang dilakukan di berbagai daerah mulai Banyuwangi, Blitar, Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Bantul, Kulon Progo, Purworedjo, Kebumen, Banjarnegara, Cilacap, Pangandaran, Sukabumi, Banten dan Lampung. Survei tersebut juga untuk mengetahui zat apa yang digunakan para perajin serta permasalahan yang dihadapi perajin dalam melakukan proses pembuatan gula dan bagaimana kualitas gula kelapa mereka apa sudah memenuhi persyaratan SNI. Pemakaian sodium bisulfit memang dijinkan dengan residunya maksimum 300 ppm. Sodium bisulfit pada gula kelapa saat digunakan dalam masakan yang dipanaskan pada suhu tinggi akan hilang. Seperti yang digunakan pada kecap, akan hilang. Dari pengalaman kami tersebut tidak ada satupun perajin yang menggunakan formalin seperti yang anda informasikan. Kasihan sekali perajin kalau harus membawa formalin naik keatas pohon dengan risiko tumpah akan mengiritasi mata mereka, kulit teriritasi dan bila terhirup mengakibatkan sesak nafas, tenggorokan terasa terbakar.

Mungkin perlu kami sampaikan pula mengapa nira yang cair bisa menjadi gula yang padat . Proses pembuatan gula kelapa melalui tahapan penyaringan nira agar kotoran yang terikut termasuk semut tidak ikut diproses. Kalau semutnya ikut diproses bisa mengandung asam format (turunan formalin) karena secara alami semut mengeluarkan asam format.

Setelah disaring kemudian dimasak dalam wajan (besi atau tanah) atau dalam panci aluminium. Pemasakan nira harus dilakukan segera setelah nira disaring, kalau masih menunggu nira yang lain sebaiknya nira yang datang dulu didihkansaja kemudian akan dimasak bersama-sama. Pemasakan ini akan mengakibatkan air dalam nira menguap dan terjadi perubahan pada sukrosa yang disebut karamelisasi (warnanya coklat dan baunya khas karamel), dilakukan pengadukan agar terbentuk kristal gula (kadang-kadang perajin menambahkan sedikit parutan kelapa untuk memancing terbentuknya inti kristal). Kristalisasi dihentikan dengan cara menurunkan masakan dari api apabila diambil sedkit masakan diantara ibu jari dan telunjuk tidak putus pada rentang tertentu. Pengadukan tetap dilakukan dan segera masakan dicetak dalam cetakan yang sudah disiapkan. Maka akan diperoleh gula kelapa yang padat. Apabila jumlah gula reduksinya dalam nira banyak maka gulanya tidak bisa keras tetapi agak lembek. Gula kelapa ini bisa disimpan dalam suhu ruang dengan kelembaban 80 % sampai dua bulan masih bagus. Gula kelapa mudah menyerap air sehingga apabila disimpan pada ruangan yang lembab maka gula mudah melelh atau menjadi lembek. Gula kelapa yang tahan lama bila disimpan berbeda dengan tahu yang hanya tahan satu hari maka perajin tahu menambahkan formalin agar tahu lebih tahan lama. UGM juga punya binaan industri tahu tanpa formalin tapi daya simpannya hanya dua hari di almari pendingin.

OK itu sedikit info dari kami kalau masih belum jelas bisa langsung hubungi kami di UGM. Saya sangat kasihan apabila nanti para perajin yang sudah miskin tambah miskin karena rumor yang tidak pas. Mereka akan kehilangan pekerjaan yang jadi tumpuan hidupnya. Gula Jawa atau Gula aren sudah diproduksi di Indonesia sejak abad ke 7 atau sebelumnya dan cukup menghidupi banyak keluarga meskipun katagori mereka miskin dan hanya pengepulnya yang lumayan hidupnya.

(diambil dari tanggapan Prof Mary mengenai Isu formalin didalam gula aren)